Ini adalah buku ke-2 dari ES ITO yang saya baca. Buku pertama berjudul Negara Kelima. Menampilkan gaya yang sama dengan novel sebelumnya, Rahasia Meede mengisahkan petualangan panjang tak kurang dari 600 halaman. Sangat menguras tenaga dan fikiran. Lugasnya, ini bukanlah dunia manis dengan warna warni riang ala remaja kenes 17 tahun.
Ceritanya tentang usaha pengungkapan harta karun VOC yang berumur ratusan tahun. Jika anda pernah menonton film National Treasure yang dibintangi Nicolas Cage, bisa jadi cerita dalam novel ini memiliki kemiripan. Tapi perbedaannya cukup jauh. Penilaian saya, Rahasia Meede jauh lebih baik dibanding film tersebut. Jalinan yang dibuat tak mudah ditebak begitu saja. Bagian demi bagian merupakan potongan "puzzle" yang ditata dengan cermat.
Bicara tentang misteri yang tersaji sepanjang petualangan ini, mungkin juga akan terbersit bahwa gagasannya mirip dengan karya Dan Brown semisal Da Vinci Code. Sayangnya Dan Brown menyajikan teka-teki yang membuat bosan. Mengapa? Ketika satu terungkap, Dan Brown lalu membawa ke teka-teki berikutnya. Dan itu terlalu berpanjang-panjang, sehingga tampak pengulangan sekedar untuk berlama-lama. ES ITO tak terperangkap dengan cara seperti itu. Teka-teki dipertahankan dalam larik yang tak panjang. Kekuatan yang didapatkan terletak pada kejelian memilih elemen yang terlibat, lalu menyusunnya dengan rapi dalam sebuah kerangka yang hebat.
Banyak kemajuan dibanding Negara Kelima. Terutama dalam hal tata kalimat, dan pemilihan kata. Sangat matang. Beberapa metafora yang dipakai juga tak membuat novel ini jatuh menjadi puisi. Justru melengkapi dengan takaran yang pas. Dalam Negara Kelima terasa sekali tensi yang tinggi. Segala sesuatu terasa diburu, dan seakan semuanya hendak berhamburan dalam waktu yang singkat. Spirit seperti itu agak mengendor pada novel ini, tapi tak sampai membuat aliran cerita menjadi lamban. Penguraian sejumlah sejarah memang hampir saja membuat situasi nyaris bertele-tele. Untungnya tak sampai akut.
ES ITO seperti seseorang yang berjalan dalam semak belukar, dengan parang tajam mengkilap di kedua tangannya. Sesekali membabat ke kiri. Lain waktu merambah ke kanan. Hal seperti ini yang terasa ketika membaca umpatan/makian (kalau bisa disebut begitu) yang bertaburan di banyak halaman. Jangan berfikiran negatif. Baca novel ini, kemungkinan besar anda juga berpendapat sama. Kegusaran itu dibidikkan pada perilaku malas, bodoh, korup, jumawa, dan kebobrokan lainnya. Jika merasa tersinggung dengan cibiran semacam itu, tampaknya anda mengidap penyakit kegelapan yang sejenis :)
Keputusan yang tak kalah bagusnya adalah pemilihan "ending". Penyelesaian yang tak terperangkap dalam romatisme, seperti film-film Hollywood, apalagi ala sinetron di TV (hiiii!). Saya tak tahu mengapa pada Negara Kelima ES ITO bisa terjebak pada penyelesaian yang latah. Dalam Rahasia Meede, akhir cerita diselesaikan dengan apik.
Belasan tahun yang lalu, ketika saya masih di sekolah menengah, seorang guru menyampaikan materi sastra dalam pelajaran bahasa. Beliau mengatakan bahwa bagian yang menceritakan percintaan (bahkan adegan intim) diperlukan sebagai bumbu dalam sebuah novel. Waktu itu saya tak setuju. Namun tak mampu berujar, saya simpan saja dalam hati. Setelah Rahasia Meede saya tutup di halaman terakhir, ketaksetujuan saya menemukan bukti. Tanpa harus memiliki "bumbu" semacam itu, novel ini tak menjadi kurang karena ketiadaan hal tersebut.
Sekarang saya menanti novel berikutnya. Satu catatan akhir, sejarah tak lagi membosankan di tangan ES ITO.