Artikel ini dapat digunakan, disalin, dan disebarluaskan. Cukup cantumkan sumber asli. Jika isinya mengandung kebenaran, semoga memberi kebaikan bagi kita yang memanfaatkannya. Jika ada yang salah, mohon kiranya penulis dimaafkan. Dan sangat baik, jika kesalahan tersebut dapat diberitahukan kepada penulis.
Yanmarshus, 27 Januari 2004, yan[at]daunsalam[dot]net

Ketidakadilan pada PPh yang Ditanggung Pemerintah

Ada kegembiraan ketika membaca Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan Yang Ditanggung Oleh Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Dari Pekerjaan. Di sana pemerintah mengambil keputusan berdasarkan keadaan ekonomi rakyat Indonesia yang memang belum dalam keadaan baik.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yang memberikan keringanan kepada wajib pajak orang pribadi. Wajib pajak orang pribadi yang mendapatkan keringanan adalah yang penghasilannya sampai dengan 2 juta rupiah per bulan.

Dalam pasal 2 PP nomor 47 tahun 2003 itu tertulis : Pajak Penghasilan yang terutang atas gaji, upah serta imbalan lainnya dari pekerjaan yang diterima oleh Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sampai dengan Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan, ditanggung oleh Pemerintah.

Tidak ada yang janggal dengan keputusan ini. Bahkan ketika kita mengamati lampiran Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 486/KMK.03/2003 yang memuat cara menghitung pajak yang ditanggung pemerintah tersebut, juga tidak ada yang salah.

Di mana letak ketidakadilan Peraturan Pemerintah tersebut ? Ketika pemerintah sudah berusaha berpihak pada rakyat kecil, mengapa masih ada sesuatu yang harus dicurigai ? Sebelum kita ungkapkan, mungkin kita bisa membuat sebuah anggapan bahwa ketidakadilan itu muncul bukan karena kesengajaan.

Misalkan seorang karyawan berpenghasilan Rp. 1.400.000 sebulan, membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000, telah menikah, dan belum mempunyai anak. Dengan contoh ini, maka pajak yang seharusnya dibayar dalam bulan tersebut adalah Rp. 47.250. Dengan adanya PP 47 tahun 2003 ini, maka wajib pajak hanya perlu membayar sebesar Rp. 19.000. Sedangkan sisanya sebesar 28.250 ditanggung oleh pemerintah.

Dengan contoh seperti ini, terlihat bahwa wajib pajak yang termasuk dalam peraturan ini (yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp. 2.000.000 sebulan) memperoleh keringanan dalam membayar pajak, karena sebagian pajaknya telah ditanggung oleh pemerintah.

Sekarang kita buat perumpamaan yang berikutnya, sama dengan contoh di atas, tetapi si karyawan telah memiliki satu orang anak. Pajak yang ditanggung dalam bulan tersebut menjadi Rp. 41.250. Kembali mengingat PP 47 tahun 2003 ini, maka wajib pajak membayar sebesar Rp. 19.000, sedangkan yang ditanggung pemerintah adalah Rp. 22.250.

Apa yang tidak adil di sini ? Jelas terlihat bahwa karyawan yang mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak, memiliki kewajiban pajak yang sama. Seharusnya status seorang wajib pajak yang kawin atau tidak kawin, dan berapa jumlah anak, akan mempengaruhi besarnya kewajiban yang harus dibayar wajib pajak.

Wajib pajak yang telah menikah, memiliki kewajiban pajak yang lebih ringan dibanding yang belum menikah. Begitu juga, bila wajib pajak telah mempunyai anak, maka kewajiban pajaknya juga lebih ringan dibanding dengan yang belum mempunyai anak. Hal ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam Undang-Undang yang mengatur perpajakan.

Apabila contoh ini dilanjutkan, misalnya karyawan tersebut belum menikah, atau telah menikah dan telah memiliki tiga orang anak, maka besarnya pajak yang dibayar wajib pajak tetap sama sebesar Rp. 19.000. Sedangkan yang mengalami perubahan justru besarnya pajak yang ditanggung oleh pemerintah.

Apa yang menyebabkan kesalahan ini ? Bila dilihat dari isi peraturannya memang tidak ada yang salah. Kesalahan muncul ketika implementasi dari peraturan tersebut. Teknis yang dilakukan untuk menghitung pajak dengan memperhatikan PP nomor 47 tahun 2003 ini telah menyebabkan ketidakadilan pada wajib pajak.

Dari pengalaman di sebuah perusahaan, karyawan yang menerima gaji sampai dengan Rp. 2.000.000 sebulan jumlahnya mencapai hampir 80% dari seluruh karyawan. Ini artinya banyak sekali karyawan yang mengalami ketidakadilan berkaitan dengan penerapan peraturan pemerintah ini.

Terlepas dari ketidakadilan ini, masih ada satu hal yang mengganjal, ketika peraturan ini diberlakukan surut mulai 1 Juli 2003, terbayang betapa besarnya kesulitan yang muncul untuk menghitung kembali pajak karyawan yang telah terbayarkan pada bulan-bulan sebelumnya. Mungkin sudah waktunya pemerintah membuat peraturan perpajakan yang lebih adil dan sederhana, sehingga di pihak wajib pajak tidak terbebani oleh rasa tidak adil, dan perhitungan yang menyulitkan.