Artikel ini dapat digunakan, disalin, dan disebarluaskan. Cukup cantumkan sumber asli. Jika isinya mengandung kebenaran, semoga memberi kebaikan bagi kita yang memanfaatkannya. Jika ada yang salah, mohon kiranya penulis dimaafkan. Dan sangat baik, jika kesalahan tersebut dapat diberitahukan kepada penulis.
Yanmarshus, 4 Juni 2007, yan[at]daunsalam[dot]net

Perantau yang Membaca Perantau

Kata perantau yang pertama memang bermaksud untuk menyatakan bahwa saya adalah seorang perantau. Berasal dari sebuah desa kecil di kaki bukit di Sumatera, yang sekarang menjalani hidup di pinggiran kota di pulau Jawa. Sedangkan kata perantau yang kedua menunjukkan judul sebuah buku, berupa kumpulan cerpen.

Perantau adalah kumpulan cerpen Gus tf Sakai yang terbaru (Maret 2007). Kumpulan cerpen yang lain berjudul Istana Ketirisan, Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, dan Laba-laba. Beberapa karya Gus tf Sakai sudah saya baca sebelumnya. Saya menyukainya. Tentu saja ada sejumlah faktor yang menyebabkan.

Latar belakang budaya atau bisa disebut kesamaan kampung halaman adalah salah satunya. Dalam sebagian cerpen yang dihasilkan Gus tf Sakai memiliki muatan lokal yang kuat. Masalah adat serta kebiasaan sebagian masyarakat Minangkabau sering diangkat oleh sastrawan ini. Dalam kumpulan cerpen perantau ini, ada dua yang sangat jelas, yaitu Perantau, dan Kota Tiga Kota. Ketika menikmati cerpen tersebut tentu saja ada kaitan yang cukup kuat dengan saya sebagai pembacanya.

Untaian kalimat dan cara bertutur adalah alasan berikutnya. Susunan kata yang dibuat oleh pengarang ini memiliki cita rasa yang enak (Emangnya makanan :) Walaupun saya juga menyenangi cerpen Putu Wijaya yang disusun dengan kalimat yang sangat biasa tapi memiliki kisah yang "nendang", membaca kalimat dengan rasa sastra yang kental ala Gus tf Sakai nyatanya memiliki daya tarik tersendiri.

Dan sesuatu yang juga spesial adalah nuansa. Dalam cerpen yang dibuatnya, ada nuansa "asing" yang hadir. Asing disini tak sekedar lain dari yang biasanya. Ada semacam aroma mistis yang bisa juga berpadu dengan ancaman psikologis (Haha ini maksudnya apa ya?) ketika membaca cerpen yang memang ditata dengan cara demikian oleh Gus tf Sakai. Pada cerpen Lelaki Bermantel, Belatung, Tok Sakat, dan Sumur, kesan seperti ini terasa sekali.

Kalau Putu Wijaya sangat ahli membuat ending cerpen yang bisa berkelok entah kemana, yang pasti sering sekali sulit diduga, Gus tf Sakai juga punya hobi seperti ini. Namun tak sama dengan cara Putu Wijaya yang menghentak-hentak dan sangat energik. Gus tf Sakai membuat tikungan yang tidak tajam, namun tetap tak bisa diperkirakan.