Artikel ini dapat digunakan, disalin, dan disebarluaskan. Cukup cantumkan sumber asli. Jika isinya mengandung kebenaran, semoga memberi kebaikan bagi kita yang memanfaatkannya. Jika ada yang salah, mohon kiranya penulis dimaafkan. Dan sangat baik, jika kesalahan tersebut dapat diberitahukan kepada penulis.
Yanmarshus, 27 Juni 2006, yan[at]daunsalam[dot]net

Ujian Nasional dan Cerita Lainnya

Ujian Nasional untuk siswa sekolah SMA dan SMP akhirnya dilaksanakan juga. Meskipun tahun sebelumnya kontroversi tentang hal yang sama tak pernah selesai dengan jelas, sekarang silang sengkarut dalam kasus yang sama kembali menguras banyak tenaga. Yang juga berpotensi tak akan selesai dengan sempurna.

Situasi Pendidikan

Tanpa repot mencari data, memang situasi pendidikan di Indonesia dalam situasi yang tak menggembirakan. Banyak pakar pendidikan menyebutkan hal itu di media massa, seminar-seminar, atau juga tv. Atau jika kita cukup rajin membaca koran, hampir setiap hari ada berita yang tak sedap tentang keadaan pendidikan di negeri kita. Bisa tentang fasilitas yang sangat jauh dari memadai, gedung sekolah yang tak lebih bagus dari kandang ayam, kurikulum yang setiap saat berubah, kesejahteraan guru yang tak layak, dan sekian banyak persoalan lain yang bertumpuk.

Demikian gambarannya. Sudah barang tentu masalah ini perlu penyelesaian. Kita rasanya tak punya nurani jika dengan senang hati memandang keadaan tersebut tanpa ada kegalauan bahwa itu harus diperbaiki. Namun pertanyaan besar yang menggelantung adalah bagaimana memperbaikinya?

Ujian Nasional

Mengapa ada Ujian Nasional. Saya tak punya jawaban akurat. (Lha memangnya saya siapa?) Hehe... Begini saja. Dari sekian banyak alasan tentang perlunya Ujian Nasional, kenyataannya salah satu alasan adalah untuk menentukan kelulusan siswa.

Apakah tepat menjadikan UN sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa? Mari kita lihat pelajaran yang diujikan dalam UN untuk siswa SMA. Ada tiga pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Jika siswa bisa mencapai nilai minimal untuk ketiga pelajaran yang diujikan tersebut, maka berarti siswa lulus. Andaikan ada salah satu saja yang tidak melewati nilai batas, maka siswa dinyatakan tak lulus. Sederhana sekali bukan? Ya memang sederhana. Namun tak sederhana akibatnya.

Evalusai Proses Belajar

Sekarang kita loncat ke masalah evaluasi. Dalam proses belajar tentu saja diperlukan evaluasi. Jika tidak ada evaluasi, tentu kita tak bisa mengukur sejauh mana keberhasilan proses tersebut. Dari hasil evaluasi, lalu bisa diambil kebijakan yang berguna untuk memperbaiki hal yang belum sempurna, atau meningkatkan sesuatu yang sudah tepat di jalurnya.

Dalam wilayah pendidikan, evaluasi merupakan sebuah aktivitas yang tak sederhana. Banyak elemen yang terkait di dalamnya. Evaluasi pendidikan bukanlah sebuah kalkulasi rumus matematika yang kaku. Ada aspek dalam pendidikan yang tak begitu saja bisa dikonversi ke dalam angka-angka. Jika kita kaitkan kembali ke Ujian Nasional yang menguji tiga pelajaran dalam waktu beberapa jam, lalu bisa dengan mudah diputuskan lulus tak lulusnya seorang siswa, sungguh naif rasanya kejadian ini.

Jika saja kerangka berfikir yang digunakan adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya dalam sistem pendidikan, maka UN bisa menjadi alat yang membantu. Tapi jangan paksakan UN untuk menjadi pisau pemutus untuk kelulusan siswa. Sebenarnya tepat gagasan yang menyatakan bahwa UN cukup sebagai alat untuk memetakan keadaan pendidikan siswa. Lalu dari sana diambil kesimpulan yang mungkin untuk memperbaiki keadaan pendidikan yang tak layak.

Adalah tepat jika yang menetukan kelulusan siswa adalah pihak sekolah. Di sanalah siswa menempuh pendidikannya dalam kurun waktu tertentu. Guru dan lingkungan sekolah yang mengetahui siswa lebih banyak. Hanya saja, hal ini juga menjadi isu yang panas. Misalkan saja pertanyaan berikut : Apakah sekolah bisa dengan baik menentukan kelulusan siswa? Bagaimana dengan standar kelulusannya? Apakah tidak akan ada manipulasi? Dengan kualitas pendidikan yang sekarang, bisakah sekolah menentukan kelulusan siswa?

Lalu kita jatuh pada situasi "telur dan ayam". Banyak lingkaran setan yang tak pernah bisa diputus. Sementara kita berhenti di sini.

Ujian Ulangan

Setelah berlalu UN, dan terlihatlah siapa yang lulus dan siapa yang tak lulus, ternyata arena belumlah ditutup. Banyak yang memberi usulan agar UN bisa diulang untuk memberi kesempatan kedua bagi siswa yang tak lulus. Tentu saja banyak yang bersuara di seberangnya. Tak perlu ada ujian ulangan.

Bahkan lemparan isu ini juga perlu ditanggapi oleh seorang wakil presiden. Jusuf Kalla lantang menyatakan bahwa pemerintah tak akan mengadakan ujian ulangan. Dengan alasan sederhana beliau mengatakan bahwa itu akan menyebabkan siswa kita pemalas. Siswa tak akan belajar keras jika ada ujian ulangan. Dan sekaligus juga tak menghargai siswa yang lulus yang telah belajar dengan keras.

Tampaknya argumentasi beliau masuk akal. Tapi apakah sebuah argumentasi lain, yang seperti berikut juga tak masuk akal? Dengan adanya UN apakah justru malah menciptakan siswa yang pemalas. Sebab siswa akan berfikiran, bahwa cukup dengan bisa menjawab soal UN, toh akhirnya bisa lulus. Jadi tak perlu belajar yang giat untuk hal lainnya. Cukup persiapkan diri menjawab soal untuk tiga pelajaran. Nah!

Sebuah Cerita Lain

Pernahkah anda mendengar tentang "tim sukses". Tentu saja, apalagi sebelum Pemilu. :) Bukan. Ini bukan masalah pemilu. Dalam menghadapi UN, ada sekolah yang memiliki tim sukses untuk meraih kelulusan yang tinggi di sekolahnya. Bukan dengan mempersiapkan waktu belajar yang lebih banyak, namun dengan cara yang lebih "taktis". Mari kita lihat.

Ketika ujian berlangsung, tim sukses juga ikut menjawab soal di sebuah ruangan lain. Setelah waktu ujian habis, dan kertas jawaban siswa dikumpulkan, maka lembar jawaban ini mampir dulu di ruang khusus tim sukses. Untuk apa? Jawaban yang sudah dikerjakan siswa ini akan diperiksa dengan cepat, lalu jawaban yang salah diperbaiki oleh tim sukses yang memang bermodalkan penghapus dan pensil B2. Dengan demikian tidak ada siswa yang nilainya di bawah syarat kelulusan.

Di mana ini terjadi? Saya tak tahu. Saya hanya mendengar desas-desus. Barangkali anda juga mendengar desas-desus ini. Dan barangkali sekian banyak orang lain juga mendengarnya.

Gumaman

Entahlah. Pendidikan yang semestinya meningkatkan kadar kemanusiaan ke jenjang yang lebih tinggi, nyatanya hanya berkutat di sangkar itu-itu saja.